Review: Manjaro Linux 15.12 Capella XFCE

Setelah laptop ThinkPad saya beralih ke Arch Linux, kini giliran kakak seniornya yang beralih ke Manjaro. Si kakak senior ini sudah berusia cukup senior, kurang lebih sekitar 5,5 tahun bersama saya, ASUS K40IE.

ASUS saya ini sebelumnya pernah berjalan dengan beberapa macam sistem operasi, di antaranya Windows XP, Windows 7, Ubuntu, dan Linux Mint. Selama sekitar empat tahun terakhir, Linux Mint menjadi main OS yang saya gunakan pada laptop ini. Versi Linux Mint-nya pun sudah beberapa kali saya upgrade. Kalau tidak salah, versi terakhir yang saya gunakan pada laptop ini adalah Linux Mint 17 Qiana yang merupakan versi LTS yang sebenarnya masih terus didukung sampai tahun 2019.

Karena laptop ini saya rasa semakin menua dan me-lemot setiap hari, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan reinstall sistem operasinya. Kali ini, pilihan saya jatuh kepada Manjaro. Sebelumnya, saya terpikir untuk meng-install Arch Linux juga, seperti pada ThinkPad saya sebelumnya. Tapi karena saya agak sok sibuk belakangan ini, saya memilih untuk meng-install Manjaro yang katanya ‘terasa’ seperti Arch Linux, dengan proses instalasi yang jauh lebih mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu. Proses instalasinya insyallah akan saya coba tuliskan di lain kesempatan, ya. 😉

Nah, seperti yang tertulis di tagline yang ada di login screen-nya, “Enjoy the simplicity“, kesan pertama yang saya dapatkan dari Manjaro adalah sederhana, tanpa mengurangi estetika dari tampilan keseluruhannya. Kesan ini entah karena saya memilih versi XFCE, tapi memang tampilannya sederhana tetapi tetap cantik. Saya memang sengaja memilih XFCE karena sederhana, fungsional, dan tidak menghabiskan banyak resource dan tetap cantik 😉 . Nah, berikut tampilan default-nya:

Tampilan default Manjaro 15.2 Capella XFCE
Tampilan default Manjaro 15.2 Capella XFCE

Oya, tampilan di atas sebenarnya bukan asli tampilan default, karena saya sudah tambahkan satu item network monitor di panelnya, selebihnya, semuanya asli. Nah, seperti terlihat pada gambar di atas, kalau Anda sudah familiar dengan istilah-istilah desktop environment Linux, mungkin Anda sudah bisa menebak apa saja yang digunakan oleh Manjaro versi ini. XFCE panel, whisker menu, dan Numix icon pack.

Secara personal, saya sejujurnya tidak terlalu senang dengan whisker menu dengan latar belakang berwarna putih, terlebih dipadukan dengan Numix icon pack. Numix memang karya yang bagus, tapi saya tidak terlalu suka dengan icon sejenis ini. Kembali lagi, selera masing-masing orang mungkin berbeda, kan? Tapi tetap saja, ini bukan masalah besar karena saya dapat melakukan tweaking di lain waktu untuk mengganti tampilannya sesuai keinginan. Yang nomor satu, tetaplah fungsionalitasnya. 😉

Mengenai performa, sama sekali tidak ada masalah pada laptop ‘jadul’ saya. Konsumsi CPU dari Intel dual core hanya skitar 1-2 persen pada saat selesai startup. Konsumsi memorinya pun tidak lebih dari 700-800 MB saja. Selanjutnya, tinggal kita coba untuk aktivitas development pada beberapa hari ke depan. Hehehe.

Manjaro merupakan distro turunan dari Arch Linux. Oleh karenanya, Manjaro juga merupakan distro yang rolling release. Artinya, kita tidak perlu melakukan instalasi ulang sistem setiap kali ingin meng-upgrade sistem operasi. Cukup ketikkan perintah sudo pacman -Syu dan semuanya pun beres.

Perbedaan Manjaro dengan parent distro-nya adalah, pada Manjaro, installer sudah di-bundle dengan aplikasi-aplikasi penting yang umum digunakan oleh pengguna, meskipun tidak sebanyak aplikasi yang di-bundle pada Ubuntu atau Linux Mint. Aplikasi bawaan Manjaro antara lain adalah desktop environment (XFCE, KDE, GNOME, Fluxbox, atau lainnya sesuai pilihan Anda), Firefox, Adobe Flash Player, GIMP, GParted, Guayadeque (music player), LibreOffice, Pidgin, Qt4 Designer, Steam (nah!), Thunderbird, dan VLC. Sekilas, aplikasi-aplikasi ini memang aplikasi general yang akan banyak digunakan oleh pengguna. Tidak terlalu banyak memang, inilah mengapa Manjaro tetap ringan dan hemat ruang. Ukuran installer-nya saja hanya sekitar 1.5 GB lengkap dengan aplikasi-aplikasi tersebut. Nah, kalau Anda memilih Arch Linux, semua aplikasi tadi harus Anda install satu per-satu. Intinya, buatlah komputer Anda sendiri dengan Arch Linux. 😀

Overall, distro ini cukup menggoda. Meskipun, seperti biasa, masing-masing pengguna Linux mempunyai caranya masing-masing untuk mempercantik dan meningkatkan performa komputer masing-masing. Saya rasa, saya akan tetap menggunakan distro ini dalam waktu yang cukup panjang.

Sekiranya demikian review singkat saya mengenai Manjaro, sekarang ijinkan saya untuk mencoba install game via Steam dan mengetes bekerja (development) di OS ini. Semoga bermanfaat. 😉

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *